(E-SKRIPSI) TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XIV/2016 DALAM HAL PERUBAHAN KETENTUAN PASAL 2 DAN 3 UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
Makna kata “dapat” didalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi kemudian menjadi bergeser. Dengan merujuk ketentuan Pasal 28
G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945, makna Undang-Undang Administrasi Pemerintahan kemudian diberi
ruang untuk diterapkan didalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi. Sehingga semula didalam putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menyebutkan Tindak Pidana Korupsi adalah
Tindak Pidana Formil kemudian menjadi Tindak Pidana Materil.
Permasalahan yang diangkat adalah Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 25/PUU-XIV/2016 Dalam Hal Perubahan Ketentuan Pasal 2 dan 3
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dan
Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari putusan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 25/PUU-XIV/2016 Dalam Hal Perubahan Ketentuan Pasal 2 dan 3
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Metode penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normative legal
research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian
Perundang-undangan yang berlaku dan diterapkan terhadap suatu permasalahan
v
hukum tertentu dan pendekatan secara empiris yaitu dengan cara studi lapangan
yang bertitik tolak sebagai upaya mendapatkan data primer melalui pengamatan
(observasi) ataupun dengan wawancara langsung dari narasumber yang berkaitan.
Hasil penelitian ini adalah, Berpendapat kata “Dapat” di dalam Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 3 bermakna “mungkin”, “berpotensi”, “bisa”, “tidak harus”. Apabila
kata “dapat” tersebut dihilangkan akan melemahkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dalam kasus Korupsi yang dikategorikan sebagai Extraordinary Crime
(Kejahatan Luar Biasa) hendaknya diterapkan penegakkan hukum Extraordinary
Law (Hukum Luar Biasa) bukan dengan melemahkan dasar hukum dalam
pemberantasan Korupsi tersebut dan Akibat Hukum yang ditimbulkan
menghilangkan kata dapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tersebut akan
mengubah secara mendasar delik dari tindak pidana korupsi dari delik formil
menjadi delik materiil sehingga walaupun unsur "merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara" belum atau baru berpotensi terjadi meskipun unsur
"secara melawan hukum" dan unsur "memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi” telah terpenuhi, maka belum terjadi tindak pidana.
Saran dalam penelitian ini adalah Pemerintah hendaknya waspada dalam
menanggulangi permasalahan ini, diharapkan Pemerintah memperkuat lagi sistem
Pencegahan Korupsi bukan melemahkan sistem pencegahan Korupsi supaya
Indonesia bisa terbebas dan bersih dari Tindak Pidana Korupsi, dan Kepada para
penegak hukum, hendaknya bebas dalam menentukan sikap dan terhindar dari
intervensi manapun dan dalam menegakkan hukum diharapkan tanpa tebang pilih
dalam mengusut Korupsi yang ada di negeri ini.
Kata Kunci : Implementasi, Mahkamah Konstitusi, Korupsi, Linguistik.
Tidak tersedia versi lain