TEXT
Jalan pulang
Terkadang manusia begitu getol mengejar pencapaian semasa hidup di dunia. Namun, saat semua asa telah paripurna, tak jarang mereka justru merasa gundah karena terlena, seperti ada yang hilang. Hingga akhirnya mereka pun tergerak mencari jalan untuk menemukan dirinya sendiri.
Mungkin itulah yang dirasakan oleh Maria Margaretha Hartiningsih, di pengujung masa baktinya sebagai salah satu jurnalis kawakan paling berpengaruh di Tanah Air. Gelisah, gundah, sekaligus merasa ‘kehilangan’. Semuanya teraduk jadi satu di dalam batinnya.
Di tengah kegundahan tersebut, wartawati senior peraih Penghargaan Yap Thiam Hien itu melakukan serangkaian perjalanan spiritual (internal journey) melintasi Camino de Santiago—Lourdes—Plum Village—Oran—Mostaganem. Perjalanan stasi demi stasi ditapakinya hingga dia menemukan titik kulminasi tentang hakikat pencarian dan kerinduan untuk menemukan dirinya. Dokumentasi pengalamannya mencari pencerahan selama 2013—2014 itu terjilid indah dalam buku yang berjudul Jalan Pulang.
Di dalam perjalannya itu, Maria—yang telah berkiprah sebagai wartawan sejak 1984 itu—menyertakan kepingankepingan refleksi masa lalunya. Kenangannya selama menjalani tugas jurnalistik, hingga hubungannya yang dekat sekaligus mengundang haru dengan sang Ibu. “Ibuku sering menceritakan hal serupa semasa hidupnya. Khususnya ketika bisa membayar uang sekolahku pada waktunya.
‘Mesti diparingi yen kanggo sing becik’,” tulis Maria saat menggambarkan tentang sikap keberserahan dalam bab Lourdes. Sebagai seorang jurnalis berkaliber, Maria cukup memenuhi ekspektasi pembaca, khususnya mereka yang sudah sejak lama mengagumi karyakarya jurnalistiknya yang tidak hanya fenomenal, tetapi juga banyak memengaruhi pemikiran khalayak.
Gaya bertuturnya yang runut dibingkai dalam penggambaran peristiwa demi peristiwa dengan detail. Pembaca dibuat seolah ikut digandeng olehnya dalam perjalanan spiritual ala Paolo Coelho yang diabadikan dalam karya The Pilgrimage (1987).
Bagaimana pun, Jalan Pulang tidak hanya menyenangkan untuk dibaca oleh para penggemar karya jurnalistik Maria. Penggiat sastra pun akan diperkaya oleh pemilihan diksi demi diksi, yang membuat pembaca perlu sesekali melirik terjemahannya di dalam kamus thesaurus. Mereka yang telah membacanya pun mengaku disegarkan oleh ilham-ilham seputar pelajaran dan arti hidup dari kacamata seorang wartawati paripurna.
Sebagaimana diucapkan Bhante Nyanabandhu bahwa buku tersebut mengingatkan pembaca untuk selalu mencari ‘jalan pulang’. Hidup bukan sekadar soal mengejar ambisi, mencapai target, dan berkompetisi. Pencapaian terindah justru saat kita menemukan jalan pulang.
“Banyak orang yang terlalu sibuk melihat ke depan, sehingga mereka lupa pulang,” tuturnya. Secara keseluruhan, Jalan Pulang adalah sebuah karya yang sangat personal dan mampu menyentuh hati pembaca dengan caranya sendiri. Maria sukses merangkum himpunan narasi kecil untuk membentuk sebuah narasi besar bertema kemanusiaan. Bagi Maria sendiri, karyanya ini adalah persembahan di akhir masa baktinya sebagai jurnalis.
Karya yang disebutnya sebagai ‘penebus utang’ kepada media tempatnya bekerja ini sekaligus merfleksikan kegelisahan yang dirasakan oleh banyak orang sukses. “Saya berkembang dari orang yang tidak berani menatap mata orang lain menjadi [jurnalis] yang sangat galak, sombong, dan arogan. Sampai saya menyadari ternyata saya cuma kaya gitu saja. Melalui buku ini, saya hanya ingin berbagi,” ungkapnya.
Kisah jelajah spiritual Maria ditutup secara manis dengan epilog yang menyimpulkan pengejewantahan hakiki dari puisi Rumi “Barangsiapa berani kehilangan diri, dia akan mendapatkan diri
Tidak tersedia versi lain