TEXT
Good Corporate Governance: teori dan implementasinya di Indonesia
BAGAIKAN suara bedug bertalu-talu saat Lebaran, insiden terkait Good Corporate Governance (GCG) tengah jadi sorotan di tanah air. Diawali dengan kasus gagal bayar asuransi Jiwasraya yang menohok benak dengan angka fantastis, taluan kemudian muncul dari kasus sejenis: Asabri.
Tata kelola perusahaan yang baik, istilah lain dari GCG, menemukan momen kebenaran ideal saat ini karena menimbang demikian besarnya kerugian yang diderita, baik oleh negara sebagai pemilik kedua BUMN tersebut dan tentu rakyat sebagai pemberi daulat kepada negara kepada dua entitas bisnis tersebut.
Terlebih untuk para pemegang polis pada kedua asuransi tersebut. Alih-alih menuai untung, memperoleh durian runtuh, maka mereka tetiba terkena durian busuk yang bahkan nilainya sampai triliunan rupiah. Tak ada angin dan tak ada hujan, mereka tak berdaya kehilangan duitnya begitu saja.
Tambah prihatin ketika kedua praktek buruk GCG tersebut, entah kebetulan atau tidak, adalah buah rekapituliasi praktek tak terpuji sekian lama. Ada semacam proses rekayasa keuangan yang ditengarai selain berlangsung lama, juga dilakukan diduga secara sistematis alias berjamaah.
Untuk itulah, buku terbitan September 2019 ini menemukan titik relevansinya dalam situasi kekinian. Sekalipun sebenarnya, tanpa ada kejadian ini, sekira semua pihak konsisten penuhi regulasi, takkan ada kejadian merugikan seluruh pemangku kepentingan semacama Jiwasraya tadi.
Dari sisi aturan, aturan GCG sudah diatur ganda oleh dua otoritas terkait. Yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan OJK No.18/2014 serta Peraturan Bank Indonesia No.11/2009 serta Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/2010.
Ketiga aturan ini menegaskan lembaga keuangan dalam bentuk apapun (pemerintah/swasta), terlebih BUMN, diwajibkan melakukan 5 praktik tata kelola yang baik: Keterbukaan, Akuntabilitas, Pertanggungjawaban, Profesional, dan Kewajaran.
Aturan praktis ini sejalan dengan teorema eksisisting. Misalnya agency theory yang menekankan bahwa ada pemisahan sekaligus perbedaan kepentingan antara principal alias perusahaan dengan agent/pengelola. Agent atau direksi sebuah perusahaan yang dipilih tentu diharapkan dapat bekerja bagi kepentingan pemilik modal.
Sekalipun memang dari sisi teori pun, agent dalam perjalanannya memiliki kepentingan tersendiri. Sukur bila sama dengan principal, namun jika berbeda, maka mayoritas kemudian memberikan dampak merugikan.
Karena itulah, buku yang mengupas lengkap dari sisi teori maupun praktek ini, tak hanya relevan dibaca saat ini, namun juga menarik ditelaah perspektifnya yang tersaji lengkap. Ambil contoh sebagian: Bab 6 Corporate Governance pada BUMN (hal.89-100), Bab 7 GCG on the balance between economic and social (hal.103-116), dan Bab 9 Bagaimana Menerapkan GCG pada UMKM di Indonesia (hal.141-154).
Jika kilasan bab-nya sudah demikian menyeluruh, apalagi jika Anda (baik sebagai akademisi maupun praktisi terkait tata kelola perusahaan) membaca semuanya. Ilmu didapat, GCG meningkat. Agar kejadian Jiwasraya cukup berakhir dan tak ada lagi ke depan!
Tidak tersedia versi lain