TEXT
(PASCA) Shalat Pedoman Berpolitik
Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah swt yang bersifat syamil (menyeluruh), kamil (sempurna) dan mutakamil (menyempurnakan), tidak ada satupun sisi kehidupan manusia yang tidak diatur dalam Islam, termasuk di dalamnya masalah politik. Oleh karena itu, Nur Islam mencoba mempertebal garis dalam hubungan shalat dan politik, sehingga menemukan titik temu yang esensial. Yakni dengan mendirikan shalat (terutama shalat berjamaah) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan masalah kekuasaan, baik kekuasaan yang mutlak maupun kekuasaan yang terbatas (hlm. 10)
Namun, betapa memprihatinkan bila kita menilik panggung politik saat ini. Hukum rimba seakan menjadi hukum yang berlaku, yang kuat tetap bersemangat dan yang lemah hanya bersikap pasrah. Banyak kita saksikan dalam hidup keseharian bahwa politik hanyalah sebuah dagelan yang tak lucu, di dalamnya banyak dipraktekkan secara negatif dan kebablasan.
Korupsi berjamaah sudah menjadi rahasia umum di kalangan penguasa negeri, baik pusat maupun daerah. Sebuah pertanyaan yang patut kita ajukan kepada pelaku korupsi berjamaah, apakah dalam hidup keseharian mereka (yang mengaku beragama Islam) telah mendirikan shalat dalam arti yang sesungguhnya?
Dalam mendirikan shalat yang dimulai dari Takbiratul Ihram dan diakhiri dengan salam merupakan bentuk pengabdian totalitas hamba yang tunduk dan patuh kepada-Nya, kemudian mengaplikasikan dari bacaan dan gerakan shalat itu di berbagai aspek kehidupannya. Hal ini diterangkan secara lugas dan jelas pada bab 7 dalam buku ini.
Sebenarnya pelaksanaan shalat berjamaah merupakan cerminan dalam menentukan kualitas diri dan bangsa. Sesungguhnya sebuah bangsa yang penuh salam, rahmat, barokah, makmur, adil dan sejahtera berada di bawah naungan ampunan Allah swt (QS. Saba’: 54) manakala potensi diri kita sebagai rakyat (makmum) dalam memilih dan menentukan pemimpin (imam) harus didasari dengan arif bijaksana, obyektif, tanpa dipengaruhi dari anasir-anasir yang merusak berupa iming-iming hadiah, sogokan, jabatan dll.
Menentukan Imam shalat berjamaah tidaklah mudah, sebab harus mengetahui kelebihan dan kecakapan yang dimiliki seseorang. Jika kualitas di bawah standar maka akan mengurangi kekusyuaan dalam shalat. Bagaimanapun kita harus selalu menyadari bahwa fungsi utama dari imam shalat jamaah adalah pemimpin dari ibadah langsung ke hadirat Allah swt. yang tidak boleh lepas dari ketentuan dan syarat-syarat syar’i.
Dengan demikian jelaslah sebagai imam shalat (pemimpin) mempunyai tanggungjawab moral yang besar terhadap anggota jamaahnya (makmum/rakyat). Selain itu, seorang makmum (rakyat) harus berani menyuarakan kebenaran dan bertindak tegas. Dalam shalat berjamaah makmum wajib menegur jika imam melakukan kesalahan. Dan juga di dalam kehidupan sehari-hari termasuk politik, rakyat pun wajib menegur pemimpin yang melakukan penyelewengan. Katakanlah yang benar (haq) meskipun terasa pahit (murran).
Maka bagi seorang imam (pemimpin) tidak berlaku apa yang sering dikatakan orang “Right or wrong is my leader”. Ungkapan ini akan menghambat komunikasi antar pemimpin dan rakyatnya. Dan ini yang menjadi problem baik pemerintah pusat dan daerah. Penting untuk disadari bahwa ketidaklancaran komunikasi di antara pemimpin dan rakyatnya bermula dari ketidakberesan komunikasi vertikal dengan pusat komunikasi, yaitu Dzat yang melancarkan komunikasi para hamba-Nya.
Patutlah kita apresiasi buku Shalat Pedoman Berpolitik sebagai panduan dalam memilih pemimpin yang berakhlak, berkualitas dan mampu mensejahterakan kehidupan rakyat. Mengingat sebentar lagi Lampung akan memilih pemimpin (gubernur) baru, di sarankan bagi rakyat Lampung untuk membaca buku ini, sungguh bacaan yang bermutu.
Tidak tersedia versi lain